Duniaku berhenti pada tahun baru, namun alam semesta masih terus berdetak. Laut yang membentang di depanku sempit, inginku melompat ke dalamnya, dan menyelam perlahan dari satu ujung ke ujung lainnya. Laut di malam hari yang gelap gulita ditemani hembusan angin, membuatnya menjadi dingin.
Aku memasang earphones dan mendengarkan suara latar diam di ujung telepon. Untuk sesaat, aku berpikir itu keheningan namun perlahan terdengar suara ombak dan hembusan angin diikuti suara kerinduannya.
“Halo, sudah lama sekali ya,”
Mereka bilang kamu harus terjebak setidaknya sekali di hubungan yang seperti itu. Akan menyenangkan rasanya apabila teleponnya dapat aku matikan dengan mudah atau tangan ini menolak panggilan secepat yang aku bisa. Namun aku juga ingin perasaan yang berkecamuk ini hilang dan aku berhenti berpikir banyak hanya untuk berbicara dengannya.
Panggilan ini terhubung sampai pagi tapi aku masih belum bisa tidur nyenyak.
Mulai dari aku akan mengakhirinya menjadi aku tidak ingin melewatkan sedetik pun kemudian aku akan memotong pembicaraannya, semua berakhir ke,
“sampai jumpa besok”.
Suasana bolak-balik meleleh ini menjadi udara pagi di mana matahari belum terbit, dan tubuhku seperti tenggelam tertelan kasur. Tubuh ini seluas lautan, lautan emosi. Suka dan tidak suka, kecemasan, kepercayaan, keraguan, kelegaan, penyesalan, kegembiraan, dan carut-marut semua tentang dia melekat erat di tubuhku sepanjang waktu. Saat aku bergerak, semuanya menyambutku.
“Jangan lupa, ini tidak menihilkan proses kemajuanmu”, aku meyakinkan diri sendiri karena sudah terlambat untuk menyadari bahwa berpikir sebelum bertindak itu perlu.
Tetapi sekarang, aku tidak ingin berpikir bahwa pertemuan dan perpisahan itu harus masuk akal. Yang itu bagus seperti itu. Yang itu bagus karena tidak seperti itu. Aku merasa pertemuan bisa menjadi sesuatu yang bukan kehendak diri sendiri.
Malam ini, langit sangat suram hingga tidak satupun bintang terlihat. Padahal langit yang bisa kulihat indah tanpa penyesalan adalah saat aku memejamkan mata.
###